Kitab Manzhumah al - Baiquniyyah (Pembukaan)

Kitab Manzhumah Al - Baiquniyyah

بسم الله الرّحمن الرّحيم

اَبْدَأُ بِا لْحَمْدِ مُصَلِّيًا عَلَى # مُحَمَّدٍ خَيْرِ نَبِيٍّ اُرْسِلاَ

وَ ذِى مِنْ اَقْسَامِ الْحَدِيْثِ عِدَّةْ # وَكُلُّ وَاحِدِ اَتَى وَحَدَّه

A. Terjemahan

Dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih dan maha penyayang.

Saya memulai (kitab Manzhumah al – Baiquniyyah) dengan memuji (Allah Swt.) (serta semoga memberi) rahmat (Allah Swt.) kepada (Nabi) Muhammad (Saw. yang menjadi nabi) yang paling baik dari (para) nabi yang diutus (oleh Allah Swt.).

Dan ini (kitab Manzhumah al – Baiquniyyah adalah kitab yang berisi) dari bagian – bagian (ilmu) hadis yang berupa bilangan (maksudnya adalah bilangan nazham 34 bait). Dan setiap salah satunya akan datang (disampaikan) dan (beserta) patokannya (penjelasannya/keterangannya).

B. Logat Pesantren

Kalawan nyebut jenengan Allah kang welas asih didun’yane lan welas asih diakhirate.

Ngawitan isun ing iki kitab, kalawan muji ing Allah hale maca shalawat isun ingatase nabi Muhammad Saw. Kang dadi pang bagus – baguse nabi kang den utus iyeu nabi.

Utawi iki kitab saking pirang – pirang babagian hadis, iku bilangan/itungan (34 bait). Utawi saban – saban sawiji iku bakal teka/datang iyeu kullu wahidi lan patokanana kullu wahidi.

C. Penjelasan

1. بسم الله الرّحمن الرّحيم

Penulis kitab atau mushannif yaitu Syaikh Thaha atau Umar bin Muhammad bin Futuh al – Baiquni seorang ahli hadis yang wafat sekitar tahun 1080 H/1669 M, memulai tulisannya dengan menyebut nama Allah Swt. dalam kalimat bismillahirrahmaanirrahim. Dalam sebuah penafsiran disebutkan bahwa maksud ar - Rahman adalah maha pengasih. Yaitu Allah Swt. maha pengasih untuk semua makhluk ciptaannya, baik untuk manusia, hewan, tumbuhan dan lain sebagainya. Baik juga untuk muslim maupun bukan, baik untuk yang shaleh maupun yang durhaka. Allah Swt. maha pengasih kepada semua, tetap Allah Swt. beri makan, beri minum, rezeki dan kehidupan. Adapun maksud ar – Rahim adalah maha penyayang. Yaitu Allah Swt. maha penyayang khusus untuk makhluk yang taat kepadanya. Jadi, bagi seorang yang taat kepada Allah Swt. selain Allah Swt. limpahkan kasihnya, Allah Swt. juga limpahkan sayangnya.

Dalam penafsiran lain, disebutkan bahwa makna kalimat bismillahirrahmaanirrahim adalah menyebut nama Allah Swt. yang memberikan nikmat besar di dunia dan nikmat kecil di akhirat. Maksudnya adalah nikmat besar di dunia dilihat dari yang diberinya bukan kenikmatannya. Karenaa secara kenikmatan, nikmat dunia itu sangat kecil tidak sebanding dengan nikmat akhirat. Akan tetapi secara yang diberinya, mereka yang diberikan kenikmatan didunia jumlahnya besar. Sedangkan mereka yang nanti diberikan kenikmatan akhirat jumlahnya kecil. Yaitu hanya orang – orang yang beriman dan taat kepada Allah Swt. sajalah yang akan mendapatkannya.

Adapun dalil atau anjuran untuk memulai segala sesuatu dengan lafadz basmalah adalah hadis Nabi Saw. yang berbunyi :

كل أمر ذي بال لا يبدأ فيه ببسم الله الرحمن الرحيم فهو أبتر أو أقطع أو أجذم

"Setiap perkara yang baik, yang tidak diawali dalam perkara tersebut dengan "bismillahirrahmanirrahim" maka perkara tersebut adalah abtar atau aqtha' atau ajdzam."

Kata "بال" bisa diartikan sebagai kemuliaan, keagungan atau keadaan dan bisa juga diartikan sebagai sebuah keadaan yang dinilai penting oleh syariat. Adapun maksud penting disini adalah perkara tersebut dianjurkan atau diperbolehkan dalam syariat, bukan perkara yang secara dzatnya diharamkan dan dimakruhkan. Maka, dalam hal mengerjakan perkara remeh dan hina, tidak dianjurkan untuk membaca basmallah, seperti ketika menyapu atau membersihkan kotoran hewan.[1]

Merujuk pada referensi yang sama, Syaikh Nawawi memberikan penjelasan tentang maksud dari abtar, aqtha' dan ajdzam. Maksud dari abtar adalah yang terpotong ekornya, aqtha adalah orang yang terpotong kedua tangannya atau terpotong salah satunya, sedangkan ajdzam adalah yang terpotong tangannya atau diartikan yang hilang jari - jarinya. Maka kesimpulan yang bisa diambil dari arti hadis diatas adalah setiap perkara yang baik, yaitu perkara yang dianjurkan dan diperbolehkan dalam syariat yang sebab adanya perkara tersebut tidak diawali dengan membaca bismillahirrahmanirrahim, maka perkara tersebut seperti hewan yang terpotong ekornya, atau orang yang terpotong tangannya atau orang yang kehilangan jarinya. Dalam artian, perkara yang dilakukan tersebut tidak sempurna, kurang berkah, memiliki kekurangan atau cacat, meskipun secara zhahir perkara tersebut terselesaikan.

2. اَبْدَأُ بِا لْحَمْدِ مُصَلِّيًا عَلَى # مُحَمَّدٍ خَيْرِ نَبِيٍّ اُرْسِلاَ

Setelah mushannif memulai tulisannya dengan lafadz bismillah yang suka disebut Ibtida Haqiqi’, maka mushannif memulai lagi tulisannya dengan memuji Allah Swt. (hamdalah) yang suka disebut Ibtida Idhafi’. Ibtida Haqiqi adalah kalimat permulaan/pembuka yang tidak didahului oleh kalimat lain. Sedangkan Ibtida Idhafi adalah kalimat permulaan/pembuka yang sebelumnya sudah didahului oleh kalimat lain.

Syaikh Umar bin Muhammad bin Futuh al – Baiquni sebagai penulis kitab Manzhumah al – Baiquniyyah memulai kitabnya dengan memuji Allah Swt. dan disambung dengan membaca shalawat kepada Nabi Muhammad Saw. sebagai nabi terbaik yang diutus oleh Allah Swt. Mengucap hamdalah dan bershalawat adalah tradisi atau kebiasaan para ulama ketika memulai tulisannya. Hamdalah ditujukan kepada Allah Swt. atas segala nikmat, anugrah dan karunianya kepada makhluk – makhluk ciptaannya. Dan shalawat ditujukan kepada Nabi Muhammad Saw. sebagai bentuk doa agar senantiasa diberikan rahmat dan keselamatan. Rasulullah Saw. bersabda :

أَخْبَرَنَا الْحُسَيْنُ بْنُ عَبْدِ اللهِ الْقَطَّانُ، قَالَ‏:‏ حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ، قَالَ‏:‏ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْحَمِيدِ بْنُ أَبِي الْعِشْرِينَ، قَالَ‏:‏ حَدَّثَنَا الأَوْزَاعِيُّ، عَنْ قُرَّةَ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ‏:‏ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ‏:‏ كُلُّ أَمْرٍ ذِي بَالٍ لاَ يُبْدَأُ فِيهِ بِحَمْدِ اللهِ، فَهُوَ أَقْطَعُ[2].

Artinya : Telah mengabarkan kepada kami al – Husain bin Abdillah al – Qaththan, berkata : Telah menceritakan kepada kami Hisyam bin Ammar, berkata : Telah menceritakan kepada kami Abdul Hamid bin Abi ‘Isyriyna, berkata : Telah menceritakan kepada kami al – Auzai’, dari Qurrah dari al – Zuhri dari Abi Salamah dari Abi Hurairah, berkata : Bersabda rasulullah shallallahualaihi wa sallam : Setiap perkara yang baik (didalam syariat) tidak dimulai dengan hamdalah (memuji Allah) maka perkara tersebut terputus/terpotong (kurang berkah).

Berkaitan dengan shalawat, rasulullah Saw. bersabda :

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سَلَمَةَ الْمُرَادِيُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ وَهْبٍ عَنْ حَيْوَةَ وَسَعِيدِ بْنِ أَبِي أَيُّوبَ وَغَيْرِهِمَا عَنْ كَعْبِ بْنِ عَلْقَمَةَ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِذَا سَمِعْتُمْ الْمُؤَذِّنَ فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ ثُمَّ صَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلَاةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا ثُمَّ سَلُوا اللَّهَ لِي الْوَسِيلَةَ فَإِنَّهَا مَنْزِلَةٌ فِي الْجَنَّةِ لَا تَنْبَغِي إِلَّا لِعَبْدٍ مِنْ عِبَادِ اللَّهِ وَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ أَنَا هُوَ فَمَنْ سَأَلَ لِي الْوَسِيلَةَ حَلَّتْ لَهُ الشَّفَاعَةُ[3]

Artinya : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Salamah al – Muradiy, telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Wahb dari Haiwah dan Said bin Abi Ayyub dan selain mereka berdua, dari Ka’ab bin Alqamah dari Abdurrahman bin Jubair dari Abdullah bin Amr bin Ash bahwasanya dia mendengar nabi Saw bersabda : Apabila kalian mendengar Muadzin (sedang adzan) maka ucapkan oleh kalian seperti apa yang dia ucapkan. Kemudian Bershalawatlah kalian kepada ku maka sesungguhnya barang siapa bershalawat kepadaku sekali, maka bershalawat Allah kepadanya dengan shalawat sepuluh kali. Kemudian mintalah kepada Allah untukku al – wasilah. Maka sesungguhnya ia adalah sebuah tempat didalam surga yang tidak diraih kecuali oleh seorang hamba diantara hamba – hamba Allah. Dan aku berharap ia adalah aku. Barangsiapa memintakan untukku wasilah kepada Allah, maka dia layak mendapatkan syafaatku.

3. وَ ذِى مِنْ اَقْسَامِ الْحَدِيْثِ عِدَّةْ # وَكُلُّ وَاحِدِ اَتَى وَحَدَّه

Dalam bait ini, Syaikh Umar bin Muhammad bin Futuh al - Baiquni mengabarkan bahwa hadis terdiri dari beberapa bagian. Diantara bagian tersebut, bisa dilihat dari segi kuantitas dan kualitas. Berdasarkan kuantitas atau banyaknya yang meriwayatkan terdapat hadis Mutawatir dan hadis Ahad. Sedangkan berdasarkan kualitas terdapat hadis Shahih, Hasan dan Dhaif. Selain itu dari segi sumbernya/sandarannya ada hadis Marfu, Mauquf dan Maqthu. Dan dari bersambung atau tidaknya sanad hadis terdapat hadis Muttashil, Mursal, Munqathi, Mu’dhal, Muallaq dan lain sebagainya. Mushannif (Syaikh Umar bin Muhammad bin Futuh al – Baiquni) dalam bait ini mengabarkan akan mendatangkan dan menyampaikan satu persatu tentang bagian – bagian hadis tersebut berserta penjelasannya.

Penulis : Mushpih Kawakibil Hijaj
Mahasiswa Ilmu Hadis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 

[1] Syaikh Nawawi al - Bantani, Kasyifatus Saja Syarhu Safinatinnaja, (Beirut : Daar Ibnu Hazm, 1432 H/2011 M), halaman 26.

[2] Ibnu Hibban, Shahih Ibnu Hibban, (t.tp. : Muasasah al – Risalah, t.th.), h. 173.

[3] Imam Muslim, Shahih Muslim, (t.tp. : Darul Ilmiyah, 2016), h. 130.

Share: